CERITA
DEWASA - malam ini lgsg aj deh baca ampek abis n jgn lupa like dan share
ceritanya yahh Tante Yeni seorang keturunan chinese dan jawa. Orangnya mungil
dengan tinggi 155 cm dan berat 50 kg. Cukup seksi untuk seorang berusia 35
dengan tiga orang anak. Payudaranya berukuran 36A. Rambutnya lurus dan
berkacamata minus. Tante Yeni cukup cantik karena sebagai pengusaha dia sangat
memperhatikan penampilan dan kebugaran tubuhnya. Orangnya teliti, tegas, agak
acuh dan tipikal wanita yang mandiri
Setelah aku
menyelesaikan program mini marketnya, aku mengantarkannya ke rumahnya yang
hanya berjarak sepuluh menit dari rumahku. Tante Yeni tidak ada dan di rumahnya
hanya ada si bungsu Cynthia dan pembantunya, Mbak Ning. Cynthia yang masih
kelas 4 SD sedang bermain-main boneka. Aku sangat menyukai anak kecil. Melihat
Cynthia, aku jadi ingin bermain-main dengannya. Beralasan menunggu Tante Yeni
pulang, aku kemudian meluangkan waktuku untuk bercakap-cakap dengan Mbak Ning
dan bermain boneka dengan Cynthia.
Tak lama aku
mulai akrab dengan Mbak Ning dan Cynthia. Mbak Ning ini, biar pun pembantu
rumah tangga, tetapi sikap dan cara berpikirnya tidak seperti gadis desa. Dia
cukup cerdas dan bagiku, hanya kemiskinanlah yang membuatnya harus rela menjadi
pembantu. Seharusnya dia bisa menjadi lebih dari itu dengan kecerdasannya.
Setelah
hampir satu jam aku di sana, Tante Yeni pulang. Kulihat dia agak heran
melihatku bermain-main dengan Cynthia dan mengobrol santai dengan Mbak Ning.
“Kamu bisa
akrab juga dengan Cynthia.. Padahal si Cynthia ini agak sulit berinteraksi lho
dengan orang baru..” sapa Tante Yeni ramah. Harum tubuhnya membuatnya terlihat
semakin cantik.
“Iya nih..
Mungkin Cynthia suka dengan Om Boy yang lucu.. Ya kan Cynthia?” candaku sambil
mengusap kepala Cynthia. Gadis kecil itu tersenyum manis.
“Kau bawa
programnya ya? Ada petunjuk pemakaiannya kan?”
“Ada dong.
Tapi untuk mempercepat, sebaiknya aku menerangkan langsung pada karyawanmu, Cie.”
Aku sengaja memanggil Tante Yeni dengan panggilan “Cie” karena dia masih
terlihat sebagai wanita Chinese. Lagipula, panggilan “Cie” akan membuatnya
merasa lebih muda.
Sejak hari
itu, aku semakin akrab dengan keluarga Tante Yeni. Apalagi kemudian Tante Yeni
memintaku untuk memberikan kursus privat komputer pada Edy dan Johan, dua
anaknya yang masing-masing kelas duduk di kelas 1 SMP dan kelas 6 SD. Sedangkan
untuk Cynthia, aku memberikan privat piano klasik. Karena rumahnya dekat, aku
mau saja. Lagi pula Tante Yeni setuju membayarku tinggi.
Aku dan
Tante Yeni sering ber-SMS ria, terutama kalau ada tebakan dan SMS lucu. Dimulai
dari ketidaksengajaan, suatu kali aku bermaksud mengirim SMS ke Ria yang
isinya, “Hai say.. Lg ngapain? I miz u. Pengen deh sayang-sayangan ama u lagi..
Aku pengen kita bercinta lagi..”
Karena waktu
itu aku juga baru saja ber-SMS dengan Tante Yeni, refleks tanganku mengirimkan
SMS itu ke Tante Yeni! Aku sama sekali belum sadar telah salah kirim sampai
kemudian report di HP-ku datang: Delivered to Ms. Yeni! Astaga! Aku langsung
memikirkan alasan jika Tante Yeni menanyakan SMS itu. Benar! Tak lama kemudian
Tante Yeni membalas SMS salah sasaran itu.
“Wah.. Ini
SMS ke siapa ya kok romantis begini..” Wah, untung aku dan Tante Yeni sudah akrab.
Jadi walaupun nakalku ketahuan, tidak masalah.
“Maaf, Cie.
Aku salah kirim. Pas lagi horny nih. :p Maaf ya Cie..” balasku. Aku sengaja
berterus terang tentang ‘horny’ku karena ingin tahu reaksi Tante Yeni.
“Wah.. Kamu
ternyata sudah berani begituan ya! SMS itu buat pacarmu ya?”
“Bukan Cie.
Itu TTH-ku. Teman Tapi Hot.. Hahaha.. Tidak ada ikatan kok, Cie..”
Beberapa
menit kemudian, Tante Yeni tidak membalas SMS-ku. Mungkin sedang sibuk. Oh,
tidak, ternyata Tante Yeni meneleponku.
“Lagi dimana
Boy?” Tanya Tante Yeni. Suaranya lebih akrab daripada biasanya.
“Di kamar
sendirian, Cie. Maaf ya tadi SMS-ku salah kirim. Jadi ketahuan deh aku lagi
pengen..” jawabku. Kudengar Tante Yeni tertawa lepas. Baru kali ini aku
mendengarnya tertawa sebebas ini.
“Aku tadi kaget
sekali. Kupikir si Boy ini anaknya alim, dan tidak mengerti begitu-begituan.
Ternyata.. Hot sekali!”
“Hm.. Tapi
memang aku alim lho, Cie..” kataku bercanda.
“Wee.. Alim
tapi ngajak bercinta.. Siapa tuh cewek?”
“Ya teman
lama, Cie. Partner sex-ku yang pertama.” Aku bicara blak-blakan. Bagiku sudah
kepalang tanggung. Aku rasa Tante Yeni bisa mengerti aku.
“Wah.. Kok
dia mau ya tanpa ikatan denganmu?” tanyanya heran. Aku yang dulu juga sering
heran. Tetapi memang pada kenyataannya, sex tanpa ikatan sudah bukan hal baru
di jaman ini.
“Kami
bersahabat baik, Cie. Sex hanya sebagian kecil dari hubungan kami.” Jawabku apa
adanya.
Aku tidak
mengada-ada. Dalam beberapa bulan kami berteman, aku baru satu kali bercinta
dengan Ria. Jauh lebih banyak kami saling bercerita, menasehati dan mendukung.
“Wah.. Baru
tahu aku ada yang seperti itu di dunia ini. Kalau kalian memang cocok, kenapa
tidak pacaran saja?”
“Kami belum
ingin terikat. Terkadang pacaran malah membuat batasan-batasan tertentu. Ada
aturan, ada tuntutan, ada konsekuensi yang harus ditanggung. Dan kami belum
menginginkan itu.”
“Lalu, apa
partnermu cuma si Ria dan partner Ria cuma kamu?” selidik Tante Yeni.
“Kalau
tentang Ria aku tidak tahu. Tapi tidak masalah bagiku dia bercinta dengan pria
lain. Aku pun begitu. Tapi tentu saja kami sama-sama bertanggung jawab untuk
berhati-hati. Kami sangat selektif dalam bercinta. Takut penyakit, Cie.”
“Oh.. Safe
Sex ya? ”
“Yup! Oh ya
dari tadi aku seperti obyek wawancara. Tante sendiri bagaimana dengan Om? Kapan
terakhir berhubungan sex?” tanyaku melangkah lebih jauh. Kudengar Tante Yeni
menarik nafas panjang. Wah.. Ada apa-apa nih, pikirku.
“Udah
kira-kira 2 bulan yang lalu, Boy.” Jawabnya.
Lama sekali.
Pasti ada yang tidak wajar. Aku jadi ingin tahu lebih banyak lagi.
“Ko Fery
Impotent ya Cie?”
“Oh tidak..
Entah kenapa, dia sepertinya tidak bergairah lagi padaku. Padahal dia dulu
sangat menyukai sex. Minimal satu minggu satu kali kami berhubungan.”
“Lho, Cie
Yeni berhak minta dong. Itu kan nafkah batin. Setiap orang membutuhkannya.
Sudah pernah berterus terang, Cie?” tanyaku.
“Aku sih
pernah memberinya tanda bahwa aku sedang ingin bercinta. Tetapi dia
kelihatannya sedang tidak mood. Aku tidak mau memaksa siapa pun untuk bercinta
denganku.”
“Oh.. Kalau
Boy sih tidak perlu dipaksa, juga mau dengan Cie Yeni..” godaku asal saja. Toh
kami sudah akrab dan ini memang waktu yang tepat untuk mengarah ke sana.
“Boy, kamu
itu cakep. Masa mau dengan orang seumuran aku? Suamiku saja tidak lagi tertarik
denganku..”
“Cie Yeni
serius? Aku tidak menyangka lho Cie Yeni bisa bicara seperti ini. Cie Yeni
masih muda. 35 tahun. Seksi dan modis. Kok bisa-bisanya rendah diri ya? Padahal
Cie Yeni terlihat sangat mandiri di mataku..” aku tak bisa menyembunyikan
keterkejutanku. Bagaimana bisa, sebuah SMS salah sasaran, dalam waktu singkat
bisa berubah menjadi obrolan sex yang sangat terang-terangan seperti ini.
“Kamu lagi
nganggur kan? Datang ke rumahku sekarang ya? Suamiku tidak ada di rumah kok.
Dia masih di kantor.”
Telepon
ditutup. Darahku berdesir. Benarkah ini? Seperti mimpi. Sangat cepat. Bahkan
aku tidak pernah bermimpi sebelumnya untuk mendapatkan Tante Yeni. Selama ini
aku sangat menghormatinya sebagai clientku. Sebagai orang tua dari murid
privatku.
Bergegas aku
mengambil kunci mobil dan pergi ke rumah Tante Yeni. Di sepanjang jalan aku
masih tak habis pikir. Apakah benar nanti aku akan bercinta dengan Tante Yeni?
Rasanya mustahil. Ada Cynthia dan Mbak Ning di rumahnya. Belum lagi kalau
ternyata Edy dan Johan juga sudah pulang dijemput sopirnya.
Sampai di
rumah Tante Yeni, ternyata rumahnya sedang sepi. Cynthia sedang tidur dan hanya
Mbak Ning yang sedang santai menonton televisi.
“Di tunggu
Ibu di ruang computer, Kak.” Kata Mbak Ning. Dia memanggilku ‘kakak’ karena
usiaku masih lebih tua darinya.
“Oh iya..
Terima kasih, Ning. Ada urusan sedikit dengan programnya nih.” Kataku
memberikan alasan kalau-kalau Mbak Ning bertanya-tanya ada apa aku datang.
Aku masuk ke
ruang computer yang di dalamnya juga ada piano dan lemari berisi buku-buku
koleksi Tante Yeni.
“Tutup saja
pintunya, Boy.” Kata Tante Yeni.
Tiba-tiba
jantungku berdebar sangat keras. Entah mengapa, berbeda dengan menghadapi Lucy,
Ria dan Ita, aku merasa aneh berdiri di depan seorang wanita mungil yang
usianya di atasku. Setelah aku menutup pintu, belum sempat aku duduk, Tante
Yeni sudah melangkah menghampiriku. Dia memelukku. Tingginya cuma sebahuku.
Harum tubuhnya segera membuatku berdesir. Pelukannya sangat lembut. Kepalanya
disandarkan ke dadaku.
Aku tak tahu
harus berbuat apa. Ini adalah pengalaman pertamaku dengan wanita yang usianya
di atasku. Aku takut salah. Apa aku harus berdiam diri saja? Memeluknya?
Menciumnya? Atau langsung saja mengajaknya bercinta? Pikiranku saling memberi
ide. Banyak ide bermunculan di otakku. Beberapa saat lamanya aku bingung.
Pusing tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya aku memilih tenang. Aku ingin
tahu apa yang Tante Yeni inginkan. Aku akan mengikutinya. Kali ini aku main
safe saja. No risk taking this time.
“Cie Yeni
adalah masalah?” bisikku. Kurasakan pelukan Tante Yeni semakin erat. Dia tidak
menjawab. Aku juga diam. Benar-benar situasi baru. Pengalaman baru. Kurasakan
penisku tidak bergerak. Rupanya pelukan Tante Yeni tidak membangkitkan
gairahku.
“Aku cuma
ingin memelukmu. Sudah lama aku tidak merasa senyaman ini di pelukan seorang
laki-laki. Kamu tidak keberatan kan aku memelukmu?” akhirnya Tante Yeni
berbicara.
“Tentu saja
aku tidak keberatan, Cie. Peluk saja sepuas Cie Yeni. Apapun yang Cie Yeni
inginkan dariku, kalau aku mampu, aku akan melakukannya.” Kurasakan tangannya
mencubitku.
“Sok
romantis kamu, Boy. Aku bukan gadis remaja yang bisa melayang mendengar
kata-kata rayuanmu.. Wuih, apapun yang kau inginkan dariku.. Aku akan
melakukannya.. Hahaha.. Gak usah pakai begituan. Aku sudah sangat senang kalau
kamu mau kupeluk begini..”
Benar juga
kata Cie Yeni. Hari itu aku belajar menghadapi wanita dewasa. Belajar apa yang
mereka butuhkan. Bagi Tante Yeni, kata-kata manis tidak diperlukan. Tapi tentu
saja, aku tidak seratus persen percaya. Bagiku, tidak ada wanita di dunia ini
yang bisa menolak pujian dengan tulus. Perasaan wanita sangat peka. Wanita
punya sense untuk mencerna setiap kata-kata pria. Apakah rayuan, apakah pujian
yang tulus, atau hanya bunga bahasa untuk tujuan tertentu. Dan aku memilih untuk
memujinya dengan setulus hatiku.
“Cie Yeni,
aku beruntung bisa dipeluk wanita sepertimu. Siapa sangka SMS salah kirim bisa
berhadiah pelukan?” candaku. Memang benar aku merasa beruntung. Ini bukan bunga
bahasa, bukan rayuan. Dan aku yakin perasaan Cie Yeni akan menangkap
ketulusanku.
“Yah.. Aku
simpati denganmu yang bisa bergaul akrab dengan anak-anakku. Kamu juga tidak
merendahkan si Ning. Kulihat memang pantas kau mendapatkan pelukanku, Boy..”
bisik tante Yeni lagi. Kali ini wajahnya mendongak menatapku. Ada senyum tipis
menghias bibirnya. Ugh.. Aku jadi ingin menciumnya.
Di satu sisi
aku tahu bahwa aku salah. Tante Yeni sudah berkeluarga dan keluarganya
harmonis. Tapi di sisi lainnya, sebagai cowok normal aku menikmati pelukan itu.
Bahkan aku ingin lebih dari sekedar pelukan. Aku ingin menciumnya, melepaskan
pakaiannya, dan memberinya sejuta kenikmatan. Apalagi Tante Yeni sudah 2 bulan
lebih tidak mendapatkan nafkah batin. Pasti dia sangat haus sekarang. Aku mulai
memperhitungkan situasi. Kami dalam ruang tertutup yang walaupun tidak
terkunci, cukup aman untuk beberapa saat. Mbak Ning tidak mungkin masuk tanpa
permisi. Satu-satunya kemungkinan gangguan adalah Cynthia.
Perlahan aku
memberanikan diri menyentuh wajah Tante Yeni. Dengan dua buah jariku, aku
membelai wajahnya lembut. Mataku menatapnya penuh arti. Kulihat Tante Yeni
gelisah, tetapi ia menikmati sentuhanku di wajahnya. Aku menggerakkan wajahku
menunduk mencari bibirnya. Sekejap kami berciuman. Bibirnya sangat penuh.
Sangat hangat. Baru beberapa detik, ciuman kami terlepas. Tante Yeni
menyandarkan kepalanya ke dadaku.
“Aku salah,
Boy. Aku mulai menyayangimu..” bisiknya nyaris tak kudengar.
Aku yang
sudah merasakan ciumannya mendadak ingin lebih lagi. Dasar cowok!, rutukku
dalam hati. Apalagi aku sedang horny. Aku mencoba mengangkat wajahnya lagi. Ada
sedikit penolakan, tapi wajahnya menatapku kembali. Aku tak berani menciumnya.
Dan Tante Yeni menciumku, menghisap bibirku, memasukkan lidahnya, menggigit
kecil bibirku. Dan akhirnya kami bercumbu dengan hasrat membara. Kami sama-sama
kehausan.. Agh.. Aku tak peduli lagi. Wanita yang kuhormati ini sedang kupeluk
dan kucumbu. Dia membutuhkanku dan aku juga membutuhkannya. Yang lain
dipikirkan nanti saja. Nikmati saja dulu, pikirku cepat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar