Nama saya adalah Ateng. Ko ateng,
demikian tetangga dan kerabat memanggil saya. Saya tinggal di sebuah ruko
kecil, di mana saya berjualan bakmi di lantai 1. Keluarga saya hidup pas-pasan,
namun syukurlah saya dikarunia dua anak perempuan yang cantik-cantik. Anak saya
yang pertama bernama Diana, berusia 17 tahun, sedangkan adiknya, Felia, berusia
11 tahun.
Wilayah tempat saya tinggal dan
berjualan dikuasai oleh sekelompok preman. Kami diwajibkan membayar sejumlah
uang sewa setiap bulannya. Namun, usaha saya tidak begitu mulus beberapa bulan
terakhir, sehingga saya tidak sanggup membayar uang “keamanan” yang kian lama
kian mahal. Sudah 3 bulan terakhir saya menunggak kepada kepala preman
tersebut.
Suatu hari Sabtu, saya sedang
melakukan rutinitas seperti biasanya ketika tiga orang preman yang biasa
menagih hutang datang ke toko saya.
“Koh, bos udah gak sabar lagi nih.
Pokoknya bayar hari ini juga, atau toko lo gua obrak-abrik!”
“Jangan, Bos, jangan sekarang, saya
janji saya bakal bayar. Apa saja Bos, yang penting jangan rusak toko saya. Itu
sumber penghasilan saya satu2nya.”
Beberapa saat setalah mengucapkan
kata2 itu, saya hening. Saya baru menyadari belakangan bahwa saya salah bicara.
Si preman melirik foto keluarga saya di atas meja.
“Boleh, utang lo gua potong
setengah, tapi anak gadis lo yang gede buat gua!” ujar si preman yang berkulit
hitam.
“Jangan! Saya gak mau anak saya
nikah sama preman bangs*t kayak lo orang!”
Si hitam pun marah seketika. Ia
membalikkan meja makan yang berada di depannya.
Cepat cariin tuh cewe sekarang
juga!” perintah si hitam ke kedua temannya. Nampaknya ia sudah dibakar oleh
hawa nafsu akan kecantikan Diana, anak saya yang tertua. Singkat cerita, mereka
mengobrak-abrik rumah saya untuk menemukan Diana, sementara si hitam mengikat
saya di kursi agar tidak melawan. Kedua temannya, satu yang berkumis, dan satu
yang botak, kemuDiana menyeret Diana dan adiknya, Felia, ke ruang utama tempat
saya diikat. Mereka lalu menutup pintu rapat-rapat. Ruang tamu saya berada di
belakang toko, sehingga cukup jauh dari jalanan.
Si botak lalu membekuk tangan Diana
ke belakang, lalu mengikatnya dengan tali tambang yang ia ambil dari tas yang
sebelumnya dibawa si Hitam. Nampaknya semuanay ini sudah mereka rencanakan.
“Akhirnya kita dapet amoy sombong
ini! Selama ini, cewe kurang ajar ini gak pernah hormat sama kita! Dipanggil
gak pernah bales, malah judes. Biar bapaknya liat, apa akibatnya kalo kurang
ajar sama kita!” kata si Hitam. KemuDiana dengan kasar ia merobek kaos yang
dikenakan Diana dan melemparnya ke mukaku, demikian juga dengan celana pendek
yang telah ia peloroti dengan paksa. Diana menjerit minta tolong kepada saya,
namun saya tidak bisa berbuat apa2 kecuali memelas.
“Tolong jangan perkosa anak saya,
Pak! Lagipula dia sudah tidak perawan.” kataku, berusaha untuk berbohong.
Si hitam hanya tertawa mendengar
kebohongan saya. Ia lalu menyibak celana dalam Diana dan mencucukan jarinya ke
liang kewanitaan Diana. “Sempit kayak begini lo bilang gak perawan? Bulls**t!
Tapi karena kita disini cuma buat kasih pelajaran sama lo, maka gue akan ikutin
kemauan lo! Gua ga bakal perkosa anak lo.”
Saya merasa sedikit lega mendengar
perkataan itu, hingga si Hitam melanjutkan perkataannya, “Iya, kita gak perkosa
memeknya, tapi siapa yang tahan liat pantat semontok itu!” kata si Hitam,
sambil menepuk pantat Diana. Anak sulung saya itu memang Dianaugerahi badan
yang sexy walaupun agak gemuk, namun pantatnya memang sangat montok, seperti
menDianag ibunya. Si Kumis lalu memaksa Diana untuk menungging, sehingga
pantatnya menjulang ke atas. Ia lalu memeloroti celana dalam Diana ke bawah,
sehingga kedua belahan pantat Diana tidak ditutupi sehelai benang pun. Si hitam
pun mulai mendekat dan mengelus-elus pantat Diana.
“Gila nih pantat perfect banget,
mulus, putih, montok, kenyal! Kita emang gak salah pilih!” ujar si Hitam. KemuDiana
ia mulai meremas-remas belahan pantat Diana yang sebelah kiri, sementara si
Kumis meremas pantat Diana yang sebelah kanan.
“Jangan sentuh pantat gue!” teriak Diana,
yang kemuDiana dibalas dengan tamparan di pipinya oleh si Botak. “Bos, dia mau
langsung maen kasar nih, gak suka kali dia kalo cuma dielus doank!” ujar si
Botak sambil tertawa. Lalu tiba2 si Hitam memberi tamparan keras pada belahan
pantat Diana yang sebelah kiri. Diana pun menjerit kesakitan. Terlihat bekas
merah di pantatnya yang putih mulus itu. Lalu si Kumis yang gantian menampar
pantat Diana yang sebelah kanan. Pantatnya yang kenyal itu bergetar, seiring
dengan bunyi teriakan yang memilukan dari mulutnya. Si Hitam dan si Kumis
berganti2an memukuli pantat Diana, mungkin lebih dari puluhan kali, sementara
si Botak meraba2 payudara Diana yang masih tertutup bra.
“Bos, teteknya kurang seru nih,
tepos banget. Gak imbang sama pantatnya!” kata si Botak. Ia kemuDiana membuka
tas si Hitam dan mengambil sebuah cambuk kulit. Aku hanya bisa berteriak kaget
melihat alat-alat yang dibawa di tas itu.
“Minggir sebentar,” kata si Botak.
Setelah si Hitam dan si Kumis menjauh dari Diana, si Hitam mengayunkan cambuknya
ke arah pantat Diana. “AAAAAAAAH” teriak Diana sekeras-kerasnya, jauh lebih
keras daripada saat dipukuli. Setelah tidak dipegangi, Diana pun spontan
berusaha melarikan diri sambil menahan rasa perih di pantatnya. Si Botak pun
kembali mencambuk pantat Diana sebelum ia sempat bergerak. “Jangan bergerak lo,
masih bagus kita gak perkosa! Sekali lagi gerak, pantat lo kita jebolin!” Diana
yang takut mendengar ancaman itu hanya diam saja, sambil mulai menangis. Saya
juga mulai menangis, melihat anak gadis yang saya besarkan dengan susah payah
dan saya jaga baik2, sekarang sedang dalam keadaan telanjang bulat dan terikat
dan disakiti oleh preman2 bejat. Cambukan demi cambukan menghajar pantat Diana,
meninggalkan garis-garis merah. Si Kumis yang daritadi hanya menonton pun mulai
tergoda untuk ikut menyiksa Diana. Ia mengambil sebilah rotan tipis dari tas
lalu mulai memukuli pantat Diana. Ujung rotan yang agak runcing dan berbelah
itu menggores pantat Diana sehingga menimbulkan lecet dan memar. Diana tidak
henti2nya menangis karena rasa sakit yang luar biasa tersebut, serta meratapi
nasibnya yang malang.
Si Botak berpuluh2 kali mencambuki
pantat, punggung, dan paha Diana dengan cambuk kulitnya, sedangkan si Kumis
dengan rotan. Si Hitam merekam adegan penyiksaan itu dengan kamera HPnya.
Setelah sekujur tubuh Diana penuh dengan luka dan bekas merah, ia pun jatuh
pingsan karena kesakitan.
Ketiga preman itu melirik Felia yang
sedari tadi mereka ikat di kursi meja makan.
“Mainan yang satu udah abis bro, mau
maen yang satu lagi. Masih kekecilan tapi, tetenya aja belom tumbuh,” ujar si
Botak.
“Gak apa2, gue mau liat mekinya yang
belom ada bulu pastinya!”
Saya pun panik karena tidak
menyangka mereka juga akan mengerjai anak saya yang terbilang masih kecil dan
belum mengerti apa2 ini. Mereka menidurkan Felia di atas meja, lalu mengikat
kedua tangannya ke sudut2 meja, menyerupai huruf V. Dengan kasar mereka
melucuti pakaian Felia dan melemparnya ke arahku. Si Kumis bahkan menyumpal
mulut saya dengan celana dalam Felia agar saya tidak bisa berkata2. Mereka lalu
memainkan jarinya di atas vagina Felia yang masih berupa garis dan belum
ditumbuhi bulu, namun gundukan kecil itu nampak begitu mempesona bagi preman2
bejat itu. Si Botak lalu menyodok2kan jarinya di vagina Felia.
“Semput banget nih meki, belom
pernah gue rasain yang sesempit ini!” Lalu si Hitam pun membisikkan ide gila ke
teman2nya. Si Kumis lalu keluar ke tokoku, lalu kembali dengan beberapa botol
minuman bersoda, lengkap dengan tutupnya. Adegan berikutnya yang terjadi sangat
memilukan mata saya, yaitu ketika si Kumis dengan kasar menyodok2an botol
beling itu ke vagina Felia. Tangisan Felia meraung2 memenuhi ruangan karena
rasa sakit di vaginanya yang belum pernah disentuh siapapun sebelumnya. Tutup
botol yang bergerigi tajam itu seakan menyobek2 liang kewanitaan Felia. Darah
pun mengalir dari vaginanya, mengalir turun dari meja ke lantai. Setelah
beberapa lama, seluruh leher botol itu masuk ke dalam vagina Felia yang sangat
sempit itu.
“Udah cukup, ntar cewek yang ini
pingsan juga kayak cicinya.” ujar si Hitam menghentikan si Kumis yang keasyikan
mengobrak-abrik vagina Felia. Ia pun mencabut botol dari vagina Felia. Botok
itu bersimbah darah dari vagina Felia, bahkan di sekitar tutupnya ada gumpalan
benda yang mungkin tersobek dari vagina Felia. Vagina Felia yang tadinya hanya
berupa garis, kini menganga lebar, selebar leher botol tadi, sambil terus
mengeluarkan darah. Merasa belum puas menyakiti Felia, mereka memukuli
selangkangan Felia dengan rotan dan cambuk yang tadi digunakan untuk menyiksa Diana.
Mereka merentangkan kaki Felia lebar2 sehingga daerah kewanitaannya tidak
terhindar dari pukulan2 cambuk dan rotan. Felia tidak henti2nya menangis
meminta tolong, namun saya tidak bisa berbuat apa2 selain menyaksikan anak
gadis kesayangan saya disiksa habis2an di depan mata saya sendiri.
Saat mereka sedang asyik menyiksa
Felia, Diana mulai tersadar dari pingsan. Si Botak yang meilhatnya pertama,
langsung mengigatkan teman2nya untuk kembali ke “permainan” pertama mereka.
Mereka meninggalkan Felia dalam keadaan terikat di atas meja dengan vagina yang
bersimbah darah, serta selangkangan, perut, dan pahanya penuh dengan luka dan
garis2 merah.
“Eh, yang ini lobangnya belom
ditusuk nih,” ujar si Hitam. Si Kumis lalu mengambil botol yang tadi digunakan
untuk menyiksa vagina Felia, lalu memeperkan darah bekas dari Felia ke bajuku.
KemuDiana mereka memposisikan Diana kembali menungging, lalu mereka berganti2an
menusuk2an botol itu ke lubang anus Diana. Lubang anus Diana tidak kalah
sempitnya dengan vagina Felia tadi, sehingga menimbulkan rasa sakit yang luar
biasa. Diana menangis sekencang2nya menahan rasa sakit di anusnya. Sama seperti
Felia tadi, gerigi botol yang tajam itu melukai dinding anus Diana, sehingga
darah mengalir dari antara belahan pantatnya, menuju selangkangannya. Setelah
beberapa lama, mereka mencabut botol itu dari pantat Diana, lalu menyodorkannya
ke mulut Diana.
“Nih bersihin botol ini dari tai
lo!” Dengan penuh rasa jijik Diana menjilati tutup botol yang dilumuri dengan darahnya,
serta kotoran tubuhnya sendiri. Setelah cukup bersih, mereka kembali menyodok2
botol itu ke pantat Diana yang kini sudah menganga lebar. Mereka berhasil
memasukkan seluruh botol itu ke dalam lubang anus Diana.
“Eh, gua ada ide lagi nih,” ujar si
Kumis kepada teman2nya. Ia pergi ke toko saya di depan, lalu kembali sambil
membawa sebuah air rebusan mi dan sebotol cuka. Saya sama sekali tidak bisa
membayangkan apa yang akan mereka lakukan, sampai akhirnya dengan mata saya
sendiri saya harus melihat mereka menumpahkan air panas itu dengan corong ke
dalam lubang anus Diana. Diana menjerit sejadi2nya, tangisannya semakin keras
dan memilukan. Lubang pantatnya yang lecet2 dan perih dialiri dengan air yang
hampir mendidih. Sisa air rebusan itu kemuDiana dituangkan ke selangkangan
Felia yang daritadi masih mengerang dan menggeliat kesakitan di atas meja.
Mereka tertawa puas menyaksikan kedua gadis tak berdosa itu mengerang kesakitan
akibat tindakan biadab mereka. Setelah tangisan Diana mereda, mereka mengambil
botol cuka tadi dan mengoleskan isinya ke bongkahan pantat Diana. Cuka yang
mengenai luka bekas cambukan itu menimbulkan rasa perih yang luar biasa,
sehingga Diana kembali berteriak kesakitan. Permohonan ampun yang keluar dari
mulutnya tidak digubris oleh preman-preman itu. Hal yang sama mereka lakukan
pada selangkangan Felia.
Setelah itu, mereka beristirahat
sebentar sambil menonton kedua gadis itu yang tak henti2nya melolong kesakitan.
Ketiga preman itu mengocok penis mereka sambil menonton rekaman video
penyiksaan tadi di HP mereka. Sebelum mereka berejakulasi, mereka bangun dan
menyemprotkan spermanya ke muka Diana dan Felia. Tidak puas mengotori kedua
gadis itu dengan sperma, mereka mengencingi tubuh Diana dan Felia, serta
memaksa kedua gadis itu untuk membersihkan sisa sperma dan air kencing di penis
mereka.
Setelah itu mereka kembali memasukan
botol beling tadi ke dalam lubang anus Diana hingga masuk seluruhnya. Si Botak
bahkan mematahkan ujung rotan yang tadi dipakai untuk mencambuki Diana menjadi
beberapa bagian, kemuDiana memasukan potongan-potongan tajam itu ke vagina Diana.
Setelah lolongan yang memilukan keluar dari mulut Diana, ia tidak sadarkan
diri.
Ketiga preman itu lalu meludahi
kedua gadis tak berdaya itu, lalu pergi meninggalkan ruangan. Sebelum pergi,
mereka sempat mengacak-acak rumah dan tokoku. Setelah itu barulah si Botak
berkata, “Oke, hutang lo gua anggep lunas. Tapi jangan coba2 berkompromi sama
kita lagi, atau laen kali kita siksa anak lo sampe mati!”
Setelah beberapa waktu, para
tetangga berhasil masuk ke rumah saya dan melepaskan ikatan saya dan kedua anak
gadis saya. Kedua anak gadis saya yang sekarat itu kemuDiana dilarikan ke rumah
sakit terdekat. Namun, karena saya tidak mampu membayar biaya perawatan, mereka
tidak menindaklanjuti perawatan Diana dan Felia. Beberapa jam setelah itu, Diana
menghembuskan nafas terakhirnya, karena luka yang begitu parah pada anus dan
vaginanya. Masih beruntung nyawa Felia dapat diselamatkan, walaupun ia
mengalami trauma yang mendalam dan infeksi pada kemaluannya.
Saya membagikan cerita ini agar
siapa tahu ada yang mengenali preman2 itu dan melaporkannya ke pihak
kepolisian., karena setelah itu saya tidak pernah bertemu dengan mereka lagi.
Lagipula, saya tidak bisa melapor ke polisi lantaran tidak sanggup membayar
biaya yang diminta oleh mereka untuk sekedar membuat laporan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar