CERITA DEWASA - Pada hari Sabtu yang telah kami
sepakati dengan teman dia, dan kami janjian ketemu di salon itu jam 13:00. Aku
pun meluncur ke salon itu untuk potong rambut, sejenak aku melirik jam tangan,
terlihat jam satu kurang beberapa menit saja dan kuputuskan untuk masuk.
Seperti halnya salon-salon biasa, suasana salon ini normal tidak ada yang luar
biasa dari tata ruangnya serta kegiatannya.
Pada pertama kali aku masuk, aku
langsung menuju ke tempat meja reception dan di sana aku mengatakan niat untuk
potong rambut. Dikatakan oleh wanita cantik yang duduk di balik meja reception
agar aku menunggu sebentar sebab sedang sibuk semua. Sambil menunggu, aku
mencoba untuk melihat-lihat sekitar siapa tahu ada temanku, tapi tidak terlihat
ada temanku di antara semua orang tersebut. Mungkin dia belum datang, pikirku.
Kuakui bahwa hampir semua wanita
yang bekerja di salon ini cantik-cantik dan putih dengan postur tubuh yang
proporsional dan aduhai. Kalau boleh memperkirakan umur mereka, mereka berumur
sekitar 20-30 tahun. Aku jadi teringat dengan omongan temanku, Hanni, bahwa
mereka bisa diajak kencan. Namun aku sendiri masih ragu sebab salon ini
benar-benar seperti salon pada umumnya.
Setelah beberapa menit menunggu, aku
ditegur oleh reception bahwa aku sudah dapat potong rambut sambil menunjuk ke
salah satu tempat yang kosong. Aku pun menuju ke arah yang ditentukan. Beberapa
detik kemudian seorang wanita muda nan cantik menugur sambil memegang rambutku.
“Mas, rambutnya mau dimodel apa?” katanya sambil melihatku lewat cermin dan tetap memegang rambutku yang sudah agak panjang.
“Mmm… dirapi’in aja Mbak!” kataku pendek.
Lalu seperti halnya di tempat cukur rambut pada umumnya, aku pun diberi penutup pada seluruh tubuhku untuk menghindari potongan-potongan rambut. Beberapa menit pertama begitu kaku dan dingin. Aku yang diam saja dan dia sibuk mulai motong rambutku. Sangat tidak enak rasanya dan aku mencoba untuk mencairkan suasana.
“Mbak… udah lama kerja di sini?” tanyaku.
“Kira-kira sudah enam bulan, Mas… ngomong-ngomong situ baru sekali ya potong di sini?” sambungnya sambil tetap memotong rambut.
“Iya… kemarenan saya lewat jalan ini, terus kok ada salon, ya udah dech, saya potong di sini. Ini juga janjian sama temen, tapi mana ya kok belum datang?” jawabku sedikit berbohong.
“Ooo..” jawabnya singkat dan berkesan cuek.
“Hei…” terdengar suara temanku sambil menepuk pundak.
“Eh… elo baru dateng?” tanyaku.
“Iya nih… tadi di bawah jembatan macet, mmm… gue potong dulu yach..” jawabnya sambil berlalu.
“Mas, rambutnya mau dimodel apa?” katanya sambil melihatku lewat cermin dan tetap memegang rambutku yang sudah agak panjang.
“Mmm… dirapi’in aja Mbak!” kataku pendek.
Lalu seperti halnya di tempat cukur rambut pada umumnya, aku pun diberi penutup pada seluruh tubuhku untuk menghindari potongan-potongan rambut. Beberapa menit pertama begitu kaku dan dingin. Aku yang diam saja dan dia sibuk mulai motong rambutku. Sangat tidak enak rasanya dan aku mencoba untuk mencairkan suasana.
“Mbak… udah lama kerja di sini?” tanyaku.
“Kira-kira sudah enam bulan, Mas… ngomong-ngomong situ baru sekali ya potong di sini?” sambungnya sambil tetap memotong rambut.
“Iya… kemarenan saya lewat jalan ini, terus kok ada salon, ya udah dech, saya potong di sini. Ini juga janjian sama temen, tapi mana ya kok belum datang?” jawabku sedikit berbohong.
“Ooo..” jawabnya singkat dan berkesan cuek.
“Hei…” terdengar suara temanku sambil menepuk pundak.
“Eh… elo baru dateng?” tanyaku.
“Iya nih… tadi di bawah jembatan macet, mmm… gue potong dulu yach..” jawabnya sambil berlalu.
Ngobrol punya ngobrol, akhirnya kami
dekat, dan belakangan aku tahu Stella namanya, 22 tahun, dia kost di daerah
situ juga, dia orang Manado, dia enam bersaudara dan dia anak ketiga. Kami pun
sepakat untuk janjian ketemu di luar pada hari Senin. Untuk pembaca ketahui
setiap hari Senin, salon ini tutup. Setelah aku selesai, sambil memberikan tips
sekedarnya, aku menanyakan apakah ia mau aku ajak makan. Dia menyanggupi dan ia
menulis pada selembar secarik kertas kecil nomor teleponnya. Sambil menunggu
Hanni, aku ngobrol dengan Stella, aku sempat diperkenalkan oleh beberapa
temannya yang bernama Susi, Icha dan Yana. Ketiganya cantik-cantik tapi Stella
tidak kalah cantik dengan mereka baik itu parasnya juga tubuhnya. Susi, ia
berambut agak panjang dan pada beberapa bagian rambutnya dicat kuning. Icha, ia
agak pendek, tatapannya agak misterius, dadanya sebesar Stella namun karena
postur tubuhnya yang agak pendek sehingga payudaranya membuat ngiler semua mata
laki-laki untuk menikmatinya. Sedangkan Yana, ia tampak sangat merawat
tubuhnya, ia begitu mempesona, lingkar pinggangnya yang sangat ideal dengan
tinggi badannya, pantatnya dan dadanya-pun sangat proporsional.
Akhirnya kami ketemu pada hari Senin
dan di tempat yang sudah disepakati. Setelah makan siang, kami nonton bioskop,
filmnya Jennifer Lopez, The Cell. Wah, cakep sekali ini orang, batinku
mengagumi kecantikan Stella yang waktu itu mengenakan kaos ketat berwarna biru
muda ditambah dengan rompi yang dikancingkan dan dipadu dengan celana jeans ketat
serta sandal yang tebal. Kami serius mengikuti alur cerita film itu, hingga
akhirnya semua penonton dikagetkan oleh suatu adegan. Stella tampak kaget,
terlihat dari bergetarnya tubuh dia. Entah ada setan apa, secara reflek aku
memegang tangan kanannya. Lama sekali aku memegang tangannya dengan sesekali
meremasnya dan ia diam saja.
Singkat cerita, aku mengantarkan dia
pulang ke kostnya, di tengah jalan Stella memohon kepadaku untuk tidak langsung
pulang tapi putar-putar dulu. Kukabulkan permintaannya karena aku sendiri
sedang bebas, dan kuputuskan untuk naik tol dan putar-putar kota Jakarta.
Sambil menikmati musik, kami saling berdiam diri, hingga akhirnya Stella
mengatakan,
“Mmm… Will, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, memang semua ini terlalu cepat, Will… aku suka sama kamu…” katanya pelan tapi pasti.
Seperti disambar petir mendengar kata-katanya, dan secara reflek aku menengok ke kiri melihat dia, tampaknya dia serius dengan apa yang barusan ia katakan. Dia menatap tajam.
“Apa kamu sudah yakin dengan omonganmu yang barusan, Tel?” tanyaku sambil kembali konsentrasi ke jalan.
“Aku nggak tau kenapa bahwa aku merasa kamu nggak kayak laki-laki yang pernah aku kenal, kamu baik, dan kayaknya perhatian and care. Aku nggak mau kalo setelah aku pulang ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Will. Aku nggak mau kehilangan kamu,” jawabnya panjang lebar.
“Mmm… kalo aku boleh jujur sich, aku juga suka sama kamu, Tel… tapi kamu mau khan kalo kita nggak pacaran dulu?” tegasku.
“Ok, kalo itu mau kamu, mmm… boleh nggak aku ’sun’ kamu, bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku yang barusan?” tanyanya.
“Mmm… Will, aku mau ngomong sesuatu sama kamu, memang semua ini terlalu cepat, Will… aku suka sama kamu…” katanya pelan tapi pasti.
Seperti disambar petir mendengar kata-katanya, dan secara reflek aku menengok ke kiri melihat dia, tampaknya dia serius dengan apa yang barusan ia katakan. Dia menatap tajam.
“Apa kamu sudah yakin dengan omonganmu yang barusan, Tel?” tanyaku sambil kembali konsentrasi ke jalan.
“Aku nggak tau kenapa bahwa aku merasa kamu nggak kayak laki-laki yang pernah aku kenal, kamu baik, dan kayaknya perhatian and care. Aku nggak mau kalo setelah aku pulang ini, kita nggak bisa ketemu lagi, Will. Aku nggak mau kehilangan kamu,” jawabnya panjang lebar.
“Mmm… kalo aku boleh jujur sich, aku juga suka sama kamu, Tel… tapi kamu mau khan kalo kita nggak pacaran dulu?” tegasku.
“Ok, kalo itu mau kamu, mmm… boleh nggak aku ’sun’ kamu, bukti bahwa aku nggak main-main sama omonganku yang barusan?” tanyanya.
Wah rasanya seperti mau mati,
jantungku mau copot, nafas jadi sesak. Edan ini anak, seperti benar-benar!
Sekali lagi, aku menengok ke kiri melihat wajahnya yang bulat dengan bola mata
yang berwarna coklat, dia menatapku tajam dan serius sekali.
“Sekarang?” tanyaku sambil menatap matanya, dan dia menganguk pelan.
“OK, kamu boleh ’sun’ aku,” jawabku sambil kembali ke jalanan.
Beberapa detik kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil posisi untuk memberi sebuah “sun” di pipi kiriku. Diberilah sebuah ciuman di pipi kiriku sambil memeluk. Lama sekali ia mencium dan ditempelkannya payudaranya di lengan kiriku. Ooh, empuk sekali, mantap!Payudaranya yang cukup menantang itu sedang menekan lengan kiriku. Edan, enak sekali, aku jadi terangsang nih. Secara otomatis batang kemaluanku pun mengeras. Dengan pelan sekali, Stella berbisik, “Will, aku suka sama kamu,” dan ia kembali mencium pipiku dan tetap menekan payudaranya pada lengan kiriku. Konsentrasiku buyar, sepertinya aku benar-benar sudah terangsang dengan perlakuan Stella, dan beberapa kendaraan yang melaluiku melihat ke arahku menembus kaca filmku yang hanya 50%. “Kamu terangsang ya, Will?” tanyanya pelan dan agak lirih. Aku tidak menjawab. Tangan kirinya mulai mengelus-elus badanku dan mengarah ke bawah. Aku sudah benar-benar terangsang. Sekali lagi Stella berbisik, “Will, aku tau kamu terangsang, boleh nggak aku lihat punyamu? punya kamu besar yach!” aku mengangguk. Dibukalah celana panjangku dengan tangan kirinya, seperti ia agak kesulitan pada saat ingin membuka ikat pinggangku sebab dia hanya menggunakan satu tangan. Aku bantu dia membuka ikat pinggang setelah itu aku kembali memegang setir mobil.
“Sekarang?” tanyaku sambil menatap matanya, dan dia menganguk pelan.
“OK, kamu boleh ’sun’ aku,” jawabku sambil kembali ke jalanan.
Beberapa detik kemudian dia beranjak dari tempat duduknya dan mengambil posisi untuk memberi sebuah “sun” di pipi kiriku. Diberilah sebuah ciuman di pipi kiriku sambil memeluk. Lama sekali ia mencium dan ditempelkannya payudaranya di lengan kiriku. Ooh, empuk sekali, mantap!Payudaranya yang cukup menantang itu sedang menekan lengan kiriku. Edan, enak sekali, aku jadi terangsang nih. Secara otomatis batang kemaluanku pun mengeras. Dengan pelan sekali, Stella berbisik, “Will, aku suka sama kamu,” dan ia kembali mencium pipiku dan tetap menekan payudaranya pada lengan kiriku. Konsentrasiku buyar, sepertinya aku benar-benar sudah terangsang dengan perlakuan Stella, dan beberapa kendaraan yang melaluiku melihat ke arahku menembus kaca filmku yang hanya 50%. “Kamu terangsang ya, Will?” tanyanya pelan dan agak lirih. Aku tidak menjawab. Tangan kirinya mulai mengelus-elus badanku dan mengarah ke bawah. Aku sudah benar-benar terangsang. Sekali lagi Stella berbisik, “Will, aku tau kamu terangsang, boleh nggak aku lihat punyamu? punya kamu besar yach!” aku mengangguk. Dibukalah celana panjangku dengan tangan kirinya, seperti ia agak kesulitan pada saat ingin membuka ikat pinggangku sebab dia hanya menggunakan satu tangan. Aku bantu dia membuka ikat pinggang setelah itu aku kembali memegang setir mobil.
Dielus-elus batang kemaluanku yang
sudah keras dari luar. Tidak lama kemudian ditelusupkan telapak kirinya ke
dalam dan digenggamlah kemaluanku. “Ooh…” desahku pelan. Sedikit demi sedikit
wajahnya bergerak. Pertama, ia cium bibirku dari sebelah kiri lalu turun ke
bawah. Ia cium leherku, dan ia sempat berhenti di bagian dadaku, mungkin ia
menikmati aroma parfum BULGARI-ku. Ia makin turun dan turun ke bawah. Beberapa
kali Stella melakukan gerakan mengocok kemaluanku. Pertama-tama dijilatinya
pangkal batang kemaluanku lalu merambat naik ke atas. Ujung lidahnya kini
berada pada bagian biji kejantananku. Salah satu tangannya menyelinap di antara
belahan pantatku, menyentuh anusku, dan merabanya. Stella melanjutkan
perjalanan lidahnya, naik semakin ke atas, perlahan-lahan. Setiap gerakan
nyaris dalam beberapa detik, teramat perlahan. Melewati bagian tengah, naik
lagi. Ke bagian leher batangku. Kedua tanganku tak kusadari sudah mencengkeram
setir mobil. Ujung lidahnya naik lebih ke atas lagi. Pelan-pelan setiap
jilatannya kurasakan bagaikan kenikmatan yang tak pernah usai, begitu nikmat,
begitu perlahan. Setiap kali kutundukkan wajahku melihat apa yang dilakukannya
setiap kali itu pula kulihat Stella masih tetap menjilati kemaluanku dengan
penuh nafsu.
Sesaat Stella kulihat melepaskan
tangannya dari kemaluanku, ia menyibakkan rambutnya ke samping tiga jarinya
kembali menarik bagian bawah batang kemaluanku dengan sedikit memiringkan
kepalanya. Stella kemudian mulai menurunkan wajahnya mendekati kepala
kejantananku. Ia mulai merekahkan kedua bibirnya, dengan berhati-hati ia
memasukkan kepala kemaluanku ke dalam mulutnya tanpa tersentuh sedikitpun oleh
giginya. Kemudian bergerak perlahan-lahan semakin jauh hingga di bagian tengah
batang kemaluanku. Saat itulah kurasakan kepala kejantananku menyentuh bagian
lidahnya. Tubuhku bergetar sesaat dan terdengar suara khas dari mulut Stella.
Kedua bibirnya sesaat kemudian merapat. Kurasakan kehangatan yang luar biasa
nikmatnya mengguyur sekujur tubuhku. Perlahan-lahan kemudian kepala Stella
mulai naik. Bersamaan dengan itu pula kurasakan tangannya menarik turun bagian
bawah batang tubuh kejantananku hingga ketika bibir dan lidahnya mencapai di
bagian kepala, kurasakan bagian kepala itu semakin sensitif. Begitu sensitifnya
hingga bisa kurasakan kenikmatan hisapan dan jilatan Stella begitu merasuk dan
menggelitik seluruh urat-urat syaraf yang ada di sana. Kuraba punggungnya
dengan tangan kiriku, kuelus dengan lembut lalu mengarah ke bawah. Kudapatkan
payudara sebelah kanan. Kubuka telapak tanganku mengikuti bentuk payudaranya
yang bulat. Kuremas dengan lembut. Kubuka satu persatu kancing rompinya, dan
kembali aku membuka tepak tangan mengikuti bentuk payudaranya. Sambil tetap
mengulum, tangan kanannya bergerak menyentuh tanganku, ia tarik baju ketatnya
dari selipan celana panjangnya. Dipegangnya tanganku dan diarahkannya ke dalam.
Di balik baju ketatnya, aku meremas-remas payudaranya yang masih terbungkus BH.
Kuremas satu persatu payudaranya sambil mendesah menikmati kuluman pada
kemaluanku.
Kuremas agak kuat dan Stella pun
berhenti mengulum sekian detik lamanya. Kuelus-elus kulit dadanya yang agak
menyembul dari BH-nya dengan sesekali menyelipkan salah satu jariku di antara
payudaranya yang kenyal. “Agh…” desahku menikmati kuluman Stella yang makin
cepat. Aku turunkan BH-nya yang menutupi payudara sebelah kanan, aku dapat
meraih putingnya yang sudah mengeras. Kupilin dengan lembut. “Ooh… esst…”
desahnya melepas kuluman dan terdengar suara akibat melepaskan bibirnya dari
kemaluanku. Menjilat, menghisap, naik turun. Ia begitu menikmatinya. Begitu
seterusnya berulang-ulang. Aku tak mampu lagi melihat ke bawah. Tubuhku semakin
lama semakin melengkung ke belakang kepalaku sudah terdongak ke atas.
Kupejamkan mataku. Stella begitu luar biasa melakukannya. Tak sekalipun
kurasakan giginya menyentuh kulit kejantananku. Gila, belum pernah aku dihisap
seperti ini, pikirku. Pikiranku sudah melayang-layang jauh entah ke mana. Tak
kusadari lagi sekelilingku oleh gelombang kenikmatan yang mendera seluruh urat
syaraf di tubuhku yang semakin tinggi. Aku berhenti sejenak meraba payudaranya.
Kutengok ke bawah, tangan kanannya menggenggam dengan erat persis di bagian
leher batang kemaluanku, dan ia terlihat tersenyum kepadaku. “Kamu luar biasa,
Tel,” bisikku sambil menggeleng-gelengkan kepala terkagum-kagum oleh
kehebatannya. Stella tersenyum manis dan berkesan manja. “Eh, bisa keluar aku
kalo kamu kayak gini terus,” bisikku lagi merasakan genggaman tangannya yang
tak kunjung mengendur pada kemaluanku. Stella tersenyum. “Kalo kamu udah nggak
pengen keluar, keluarin aja, nggak usah ditahan-tahan,” jawabnya dan setelah
itu menjulurkan lidahnya keluar dan mengenai ujung batang kemaluanku. Rupanya
ia mengerti aku sedang berjuang untuk menahan ejakulasiku.
“Aaghhh…” desahku agak keras menahan
rasa ngilu. Bukan kepalang nikmat yang kurasakan, tubuhnya bergerak tidak
karuan, seiring dengan gerakan kepalanya yang naik turun, kedua tangannya tak
henti-henti meraba dadaku, terkadang ia memilin kedua puting susuku dengan
jarinya, terkadang ia melepaskan kuluman untuk mengambil nafas sejenak lalu
melanjutkannya lagi. Semakin lama gerakannya makin cepat. Aku sudah berusaha
semaksimal untuk menahan ejakulasi. Kualihkan perhatianku dari payudaranya. Aku
meraba ke arah bawah. Kubuka kancing celananya. Agak lama kucoba membuka dan
akhirnya terlepas juga. Pelan-pelan kuselipkan tangan kiriku di balik celana
dalamnya. Aku dapat rasakan rambut kemaluannya tipis. Mungkin dipelihara,
pikirku dalam hati. Kuteruskan agak ke bawah. Stella mengubah posisinya. Tadinya
ia yang hanya bersangga pada satu sisi pantatnya saja, sekarang ia renggangkan
kedua kakinya. Dengan mudah aku dapat menyentuh kemaluannya. Beberapa saat
telunjukku bermain-main di bagian atas kemaluannya. Aku naik-turunkan jari
telunjukku. Ugh, nikmat sekali nih rasanya, pikirku. Sesekali kumasukkan
telunjukku ke dalam lubang kemaluannya. Aku jelajahi setiap milimeter ruangan
di dalam kemaluan Stella. Aku temukan sebuah kelentit di dalamnya. Kumainkan
klitoris itu dengan telunjukku. Ugh, pegal juga rasanya tangan kiriku. Sejenak
kukeluarkan jariku dari dalam. Lalu aku menikmati setiap kuluman Stella.
Rasanya sudah beberapa tetes spermaku keluar. Aku benar-benar dibuat mabuk
kepayang olehnya.
Kembali kumasukkan jariku, kali ini
dua jari, jari telunjuk dan jari tengahku. Pada saat aku memasukkan kedua
jariku, Stella tampak melengkuh dan mendesah pelan. Semakin lama semakin cepat
aku mengeluar-masukkan kedua jariku di lubang kemaluannya dan Stella beberapa
menghentikan kuluman pada batang kemaluanku sambil tetap memegang batang
kemaluanku. Entah sudah berapa orang yang melihat kegiatan kami terutama para
supir atau kenek truk yang kami lewati, namun aku tidak peduli. Kenikmatan yang
kurasakan saat itu benar-benar membiusku sehingga aku sudah melupakan segala sesuatu.
Kembali Stella menjilat, menghisap dan mengulum batang kemaluanku dan entah
sudah berapa lama kami melakukan ini. Kutundukkan kepalaku untuk melihat yang
sedang dikerjakan Stella pada kemaluanku. Kali ini Stella melakukan dengan
penuh kelembutan, ia julurkan lidahnya hingga mengenai ujung kepala kemaluanku
lagi. Ia memutar-mutarkan lidahnya tepat di ujung lubang kemaluanku. Sungguh
dashyat kenikmatan yang kurasakan. Beberapa kali tubuhku bergetar namun ia
tetap pada sikapnya. Sesekali ia masukkan semua batang kemaluanku di dalam
mulutnya dan ia mainkan lidahnya di dalam. “Ooh.. Tel… enakk…” desahku sambil
melepaskan tangan kiriku dari lubang kemaluannya. Kupegang kepalanya mengikuti
gerakan naik turun.
“Stella, aku sudah nggak tahannn…”
kataku agak lirih menahan ejakulasi. Namun gerakan Stella makin cepat dan
beberapa kali ia buka matanya namun tetap mengulum dan terdengar suara-suara
dari dalam mulutnya. “Aaaagghhh…” desahku keras diiringi dengan keluarnya
sperma dari dalam batang kemaluanku di dalam mulutnya. Keadaan mobil kami saat
itu sedikit tersentak oleh pijakan kaki kananku. Aku menikmati setiap sperma
yang keluar dari dalam kemaluanku hingga akhirnya habis. Stella tetap menjilati
kemaluanku dengan lidahnya. Dapat kurasakan lidahnya menyapu seluruh bagian
kepala kemaluanku. Ugh, nikmat sekali rasanya. Setelah membersihkan seluruh
spermaku dengan lidahnya, Stella bergerak ke atas. Kulihat dia, tampak ada
beberapa spermaku menempel di sebelah kanan bibirnya dan pipi kirinya. Aku
mulai bergerak memperbaiki posisi dudukku, perlahan-lahan. Sambil tetap
digenggamnya batang kemaluanku yang sudah lemas, Stella beranjak ke atas
melumat bibirku, masih terasa spermaku. Sekian detik kami bercumbu dan aku
memejamkan mata. Akhirnya ia merapikan posisinya, ia duduk dan merapikan
pakaiannya. Aku pun merapikan pakaianku sekedarnya. Aku kenakan celana
panjangku namun tidak kumasukkan kemejaku.
Beberapa hari setelah itu, aku main
ke kost Stella dan pada saat itu pula kami mengikat tali kasih. Awal bulan
Maret lalu Stella kembali dari Manado setelah 2 minggu ia berada di sana dan ia
tidak kembali lagi bekerja di salon itu. Sekarang kami hidup bersama di sebuah
tempat di daerah Grogol, sekarang ia diterima sebagai operator di salah satu
perusahaan penyedia jasa komunikasi handphone. Sedangkan aku tetap sebagai
animator yang bekerja di sebuah perusahaan di daerah Kedoya tapi aku harus
meninggalkan kostku. Setelah kami hidup seatap, Stella mengakui padaku bahwa
selama enam bulan ia bekerja di salon itu, ia pernah melayani pelanggannya dan
ia mengatakan bahwa semua pekerja yang bekerja di salon itu juga pekerja seks.
Stella tidak mengetahui bagaimana asal mulanya. Stella sendiri tidak tahu
apakah salon merupakan sebuah kedok atau seks adalah sebuah tambahan. Dia
mengatakan bahwa untuk mengajak keluar salah satu karyawati di situ, seseorang
harus membayar di muka sebesar Rp 500.000. Rasanya Jakarta hanya milik kami
berdua, tiap malam setelah mandi sepulang dari kerja atau setelah makan malam,
kami melakukan hubungan seks. Entah sampai kapan semua ini akan berakhir dan
entah kapan kami akan resmi menikah.
Kami sungguh menikmati setiap hari
yang akan kami lalui dan telah kami lalui bersama. Aku sungguh tidak peduli
dengan asal-usulnya pekerjaan Stella sebab makin hari aku makin terbius oleh
kenikmatan seks dan mataku seolah-seolah tertutup oleh rasa sayangku pada dia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar