Ceritanya
bermula ketika untuk kesekian kalinya dia saya ajak main ke rumah. Awalnya
seperti biasanya kami cuma cium-ciuman saja. Cium pipi, cium bibir, hal biasa
kami lakukan. Entah setan apa yang lewat di benak kami. Tangan kami mulai
berani meraba-raba bagian lain, sebenarnya tidak pantas dilakukan oleh dua
insan yang belum menikah. Ketika tangan saya meraba payudaranya (kami masih
berpakaian lengkap), dia sama sekali tidak menolak. Ini membuat saya sedikit
lebih berani untuk meremas payudaranya sedikit lebih keras. Ternyata dia
menikmatinya. Saya mencoba untuk melakukannya lebih jauh lagi. Kali ini tangan
saya perlahan-lahan saya arahkan ke bagian selangkangannya. Dia masih tidak
menolak. Saat itu dia memakai celana panjang dari kain yang tipis, jadi saya
bisa merasakan lembutnya bibir kemaluannya. Tanpa saya sadari tangannya juga
telah mengelus-elus selangkangan saya. Mungkin karena pikiran saya terlalu
tegang, sampai-sampai saya kurang memperhatikannya. Kurang masuk akal memang.
Tapi itulah yang terjadi. Kepasrahannya semakin melambungkan kekurangajaran
saya. Tangan saya mulai menyelinap ke balik pakaiannya. Saya kembali
meremas-remas payudaranya. Kali ini langsung menyentuh permukaan kulitnya. Saya
lakukan sambil mencium lehernya dengan lembut. Suara desahan lembut mulai
terdengar dari bibirnya, di saat saya menyelipkan tangan saya ke balik celana
dalamnya. Ada sedikit rasa ragu ketika meraba bibir kemaluannya secara
langsung. Saya kumpulkan segenap keberanian saya yang tersisa. Jari tengah
saya, saya tekan sedikit demi sedikit dan perlahan ke belahan kemaluannya. Saat
itulah dia tersentak dan menahan tangan saya. Dia menatap mata saya.
“Jangan
dimasukkan ya Mas”, katanya.
Saya hanya tersenyum dan mengangguk. Serta merta dia mencium bibir saya. Sementara jari saya masih mengelus-elus bibir kemaluannya. Lendir yang membasahi dinding vaginanya, mulai merembes hingga ke bibir kemaluannya. Saya mencoba memintanya untuk menyentuh dan memegang kemaluan saya. Ternyata dia tidak menolak. Terlihat jelas di raut mukanya, dia sedikit gugup ketika membuka rensleting celana saya. Dan seakan malu memandang wajah saya ketika dia mulai menggenggam kemaluan saya. Untuk mengurangi ketegangannya saya mencium bibirnya. Selama lebih dari setengah jam kami hanya berani melakukan itu-itu saja. Kemudian saya beranikan diri untuk mengajaknya menanggalkan semua pakaian. Dia terlihat ragu, dan hanya menunduk. Mungkin dia ingin menolak tapi takut membuat saya kecewa.
“Kamu bener berani tanggung jawab”, katanya lagi.
Saya terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. Padahal dalam hati, saya bertanya-tanya, benarkah saya mampu bertanggungjawab? Dia menanyakannya sekali lagi. Dan saya mengiyakannya untuk kedua kalinya. Diapun mulai melepaskan kancing bajunya. Ketika saya membantunya, dia menolak.
Saya hanya tersenyum dan mengangguk. Serta merta dia mencium bibir saya. Sementara jari saya masih mengelus-elus bibir kemaluannya. Lendir yang membasahi dinding vaginanya, mulai merembes hingga ke bibir kemaluannya. Saya mencoba memintanya untuk menyentuh dan memegang kemaluan saya. Ternyata dia tidak menolak. Terlihat jelas di raut mukanya, dia sedikit gugup ketika membuka rensleting celana saya. Dan seakan malu memandang wajah saya ketika dia mulai menggenggam kemaluan saya. Untuk mengurangi ketegangannya saya mencium bibirnya. Selama lebih dari setengah jam kami hanya berani melakukan itu-itu saja. Kemudian saya beranikan diri untuk mengajaknya menanggalkan semua pakaian. Dia terlihat ragu, dan hanya menunduk. Mungkin dia ingin menolak tapi takut membuat saya kecewa.
“Kamu bener berani tanggung jawab”, katanya lagi.
Saya terdiam sejenak dan kemudian mengangguk. Padahal dalam hati, saya bertanya-tanya, benarkah saya mampu bertanggungjawab? Dia menanyakannya sekali lagi. Dan saya mengiyakannya untuk kedua kalinya. Diapun mulai melepaskan kancing bajunya. Ketika saya membantunya, dia menolak.
“Biar Saya
sendiri saja…, Kamu lepas bajumu.”, sahutnya.
Saya menurut saja. Dan tak lama kemudian, tak ada selembar benangpun pada tubuh kami. Telanjang bulat, walaupun dia masih menutupi payudaranya dengan tangan dan menyilangkan pahanya untuk menutupi kemaluannya. Saya memeluknya sambil berusaha menurunkan tangannya. Dia menurut, saat saya kembali meremas payudaranya dengan lembut. Kali ini tanpa diminta dia mau memegang kemaluan saya sambil mengelus-elusnya. Entah karena terangsang atau karena saya mengatakan mau bertanggung jawab tadi, dia menuntun tangan saya untuk mengelus selangkangannya. Agar dia tidak merasa malu, saya terus mencumbunya. Dia menikmatinya sambil menekan jari saya ke bibir kemaluannya, yang saya rasakan semakin basah oleh lendir. Dia kemudian merebahkan tubuhnya. Dan saya pun merebahkan tubuh saya di atas tubuhnya. Kami kembali bercumbu. Kali ini sedikit lebih liar. Suara desahan terdengar lebih nyaring daripada sebelumnya, ketika saya mencubit clitorisnya. Ketika saya sudah tidak tahan lagi, saya mencoba “minta ijin” padanya untuk berbuat lebih jauh. Dia mengangguk sambil sedikit meregangkan belahan pahanya.
Saya menurut saja. Dan tak lama kemudian, tak ada selembar benangpun pada tubuh kami. Telanjang bulat, walaupun dia masih menutupi payudaranya dengan tangan dan menyilangkan pahanya untuk menutupi kemaluannya. Saya memeluknya sambil berusaha menurunkan tangannya. Dia menurut, saat saya kembali meremas payudaranya dengan lembut. Kali ini tanpa diminta dia mau memegang kemaluan saya sambil mengelus-elusnya. Entah karena terangsang atau karena saya mengatakan mau bertanggung jawab tadi, dia menuntun tangan saya untuk mengelus selangkangannya. Agar dia tidak merasa malu, saya terus mencumbunya. Dia menikmatinya sambil menekan jari saya ke bibir kemaluannya, yang saya rasakan semakin basah oleh lendir. Dia kemudian merebahkan tubuhnya. Dan saya pun merebahkan tubuh saya di atas tubuhnya. Kami kembali bercumbu. Kali ini sedikit lebih liar. Suara desahan terdengar lebih nyaring daripada sebelumnya, ketika saya mencubit clitorisnya. Ketika saya sudah tidak tahan lagi, saya mencoba “minta ijin” padanya untuk berbuat lebih jauh. Dia mengangguk sambil sedikit meregangkan belahan pahanya.
Setelah
“mendapatkan ijin”, saya mencoba memasukkan kemaluan saya ke liang vaginanya.
Tapi sulitnya luar biasa. Berkali-kali saya coba, tetapi belahan itu
seakan-akan direkatkan oleh lem yang kuat. Ujung kemaluan saya sampai sakit
rasanya. Dan dia pun meringis kesakitan, sambil sesekali memekik kecil, “Aduh…,
aduh”. Saya sedikit tidak tega juga. Saya hentikan sejenak usaha saya itu,
sambil kembali mengelus bibir kemaluannya, agar sakitnya sedikit berkurang.
“Masih sakit?”, tanya saya.
“Udah nggak begitu sakit”, jawabnya.
Saya mencobanya lagi. Kali ini saya minta dia membuka bibir vaginanya lebih lebar. Tetapi masih susah juga. Padahal kata teman-teman saya yang sudah sering berhubungan seks, kalau sudah basah pasti gampang. Kenyataannya ujung kemaluan saya sampai sakit gara-gara saya paksa masuk. Saya hampir putus asa. Kemaluan saya mulai lemas lagi karena saya menjadi kurang konsentrasi.
“Masih sakit?”, tanya saya.
“Udah nggak begitu sakit”, jawabnya.
Saya mencobanya lagi. Kali ini saya minta dia membuka bibir vaginanya lebih lebar. Tetapi masih susah juga. Padahal kata teman-teman saya yang sudah sering berhubungan seks, kalau sudah basah pasti gampang. Kenyataannya ujung kemaluan saya sampai sakit gara-gara saya paksa masuk. Saya hampir putus asa. Kemaluan saya mulai lemas lagi karena saya menjadi kurang konsentrasi.
Tiba-tiba
saya teringat bahwa saya pernah baca di majalah, ada jenis selaput dara yang
sangat elastis dan relatif lebih tebal daripada yang normal. Kepercayaan diri
saya mulai timbul lagi. Saya “mengusulkan” padanya, pakai jari saja dulu.
Maksud saya supaya agak lebar lubangnya. Dia setuju saja. Walaupun saya sadar
selaput dara itu justru akan robek karena jari saya, bukan karena kemaluan
saya, cara itu tetap saya lakukan. Dari pada kami (terutama dia) kesakitan,
lebih baik begini. Mulanya saya hanya menggunakan jari kelingking. Dia hanya mendesah
sambil menggigit bibirnya. Kemudian saya lakukan dengan jari tengah, sambil
menggerakkannya naik turun. Dia masih hanya mendesah. Kemudian saya masukkan
jari tengah dan telunjuk ke liang vaginanya. Dia menjerit halus sambil menahan
tangan saya agar tidak masuk lebih dalam. Setelah dia melepaskan tangannya baru
saya lanjutkan lagi dengan sangat perlahan.
Setelah
yakin sudah cukup, saya mencoba kembali memasukkan kemaluan saya ke liang
vaginanya. Saya menyibakkan bibir vaginanya, sementara dia mengarahkan kemaluan
saya. Memang sedikit lebih mudah sekarang. Tapi tetap saja dia merintih
kesakitan. Sayapun masih merasakan sakit. Kemaluan saya seperti diperas dengan
sangat keras. Setiap kali merasakan sakit (dan mungkin perih), dia menahan
“laju” masuknya kemaluan saya. Sayapun hanya berani melakukannya dengan gerakan
perlahan. Hati saya benar-benar tidak tega melihatnya merintih kesakitan. Tapi
pada akhirnya kemaluan saya bisa masuk seluruhnya.
Saat pertama
kali berhasil masuk, saya belum berani menariknya kembali. Kami hanya berciuman
saja, supaya rasa sakit itu reda dahulu. Setelah itu baru saya berani
menggerakkan pinggul saya maju mundur, tapi masih sangat pelan. Sementara
tangannya tampak memegang erat ujung bantal, sambil terpejam dan mengigit bibirnya.
Setelah beberapa lama, kami berganti posisi. Kali ini saya berada di bawah,
sementara dia duduk di atas saya. Dia saya minta menggerakan pinggulnya naik
turun. Dia hanya beberapa kali melakukannya. Dan berkata, “Aku nggak bisa”,
sambil berguling ke samping saya. Saya memeluknya dan mengelus rambutnya serta
mencium keningnya. Kemudian kembali merapatkan tubuh saya ke atas tubuhnya.
Saya memasukkan kembali kemaluan saya ke liang vaginanya. Kali ini gampang
sekali. Di dorong sedikit langsung bisa masuk. Dan dia pun tidak lagi merintih
kesakitan. Hanya mendesah halus. Saya kembali menggerakkan pinggul saya maju
mundur. Saya coba lebih cepat. Rasanya licin sekali. Saya merasakan diantara
kemaluan kami sangat basah oleh lendir bercampur keringat. Saya terus melakukannya
sambil mencium bibirnya. Kali ini dia lebih erotis. Dia sangat suka
menghisap-hisap lidah saya, yang sengaja saya julurkan ke dalam mulutnya.
Sementara tangannya tak henti-hentinya mengelus punggung dan pantat saya.
Sesekali saya jilati puting susunya dengan lidah saya. Namun dia lebih suka
kalau saya menghisap putingnya itu. Sebenarnya saat itu saya kurang
berkonsentrasi. Pikiran saya masih terbagi. Saya masih berpikir agar tidak
membuat dia kesakitan. Mungkin karena itu saya bisa bertahan agak lama. Kalau
tidak mungkin saya sudah mengalami ejakulasi.
Setelah
cukup lama, tiba-tiba dia menyentakkan pinggulnya ke atas sambil menekan pantat
saya. Saya tidak tahu apakah saat itu dia mengalami orgasme atau tidak. Tapi
yang jelas dia menahan posisi itu cukup lama. Setelah itu dia bilang bahwa dia
capek. Saya pun mengerti, dan walaupun belum mengalami ejakulasi, saya
mengeluarkan kemaluan saya dari liang vaginanya, dan tidur telentang di
sampingnya. Sekilas saya lihat, di bibir kemaluannya ada lendir putih yang
ketika saya pegang terasa kental dan lengket, namun tidak kesat seperti halnya
sperma.
Sepertinya dia tahu kalau saya belum puas (yah namanya juga kurang konsentrasi). Dia duduk di sebelah saya sambil kemudian menggenggam kemaluan saya. Perlahan-lahan dia menggerakan tangannya naik turun. Saya sangat menikmati perlakuannya ini. Payudaranya kembali saya elus-elus. Sesekali saya permainkan putingnya dengan jari. Kali ini saya tidak bisa bertahan lama. Ketika gerakan tangannya semakin cepat, saya merasakan geli yang luar biasa di ujung kemaluan saya. Dan saya pun akhirnya mengalami ejakulasi. Dia menampung sperma saya dengan telapak tangannya. Kemudian membersihkan sisanya dengan tissue. Setelah mencuci tangan serta kemaluannya, dia kembali ke kamar dan mencium saya. Dia kemudian merebahkan kepalanya di dada saya. Sementara saya mengelus-elus rambutnya.
Saat membenahi kamar sebelum mengantarnya pulang, pandangan saya tertuju pada bekas tissue yang sebagian juga digunakan untuk membersihkan sisa lendir kemaluannya. Terlihat bercak-bercak merah pada beberapa lembar tissue, tetapi tidak banyak.
Saya memandangnya dan bertanya, “Masih berdarah nggak?”.
Dia menggeleng, dan menjawab, “Sudah nggak lagi, tadi sudah aku cuci”.
Sepertinya dia tahu kalau saya belum puas (yah namanya juga kurang konsentrasi). Dia duduk di sebelah saya sambil kemudian menggenggam kemaluan saya. Perlahan-lahan dia menggerakan tangannya naik turun. Saya sangat menikmati perlakuannya ini. Payudaranya kembali saya elus-elus. Sesekali saya permainkan putingnya dengan jari. Kali ini saya tidak bisa bertahan lama. Ketika gerakan tangannya semakin cepat, saya merasakan geli yang luar biasa di ujung kemaluan saya. Dan saya pun akhirnya mengalami ejakulasi. Dia menampung sperma saya dengan telapak tangannya. Kemudian membersihkan sisanya dengan tissue. Setelah mencuci tangan serta kemaluannya, dia kembali ke kamar dan mencium saya. Dia kemudian merebahkan kepalanya di dada saya. Sementara saya mengelus-elus rambutnya.
Saat membenahi kamar sebelum mengantarnya pulang, pandangan saya tertuju pada bekas tissue yang sebagian juga digunakan untuk membersihkan sisa lendir kemaluannya. Terlihat bercak-bercak merah pada beberapa lembar tissue, tetapi tidak banyak.
Saya memandangnya dan bertanya, “Masih berdarah nggak?”.
Dia menggeleng, dan menjawab, “Sudah nggak lagi, tadi sudah aku cuci”.
Setelah itu
saya mengantar dia pulang. Kalau tidak salah waktu itu sudah sekitar jam
sembilan malam. Saat perjalanan kembali pulang, saya berpikir. Dia sudah
mengorbankan miliknya yang paling berharga kepada saya. Dia berkorban karena
dia percaya pada saya. Belum pernah dalam hidup saya, ada orang yang begitu
percayanya pada saya. Bahkan jauh melebihi kepercayaan orang tua saya, yang
lebih sering memberikan uang belaka daripada sebuah kepercayaan yang tulus.
Kepercayaan yang diberikannya adalah pemberian yang tak ternilai harganya. Saya
berharap kebersamaan kami dapat terjalin selamanya.Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar